Ketidakpastian

08.27


Kubiarkan jendela sedikit terbuka, biarkan angin malam bisa merasuk lembut dalam pori-pori kesunyian, kuhidupkan cahaya remang lampu tidurku biar gelap tak semakin menjadi-jadi bersama malam, disinilah aku masih menggantung rindu pada malam, masih gelisah menunggu ketidakpastian. 

Bukan kepastian seseorang tetapi kepastian untuk bisa yakin pada seseorang, jika orang bilang itu mudah, berarti aku terlalu bodoh tertipu jiwa yang terus-terusan mengenang ilmu yang tak bermutu yang masa lalu telah membunuhku, dan mungkin karena hatiku yang terlalu takut untuk rapuh seperti dulu.

Sesaat terlihat jelas bayangan indah yang bermetamorphosa menjadi muram, semua berputar tanpa kendali dihadapanku, aku melihat sosok anak perempuan berbaju biru berlarian kecil diantara ilalang, bajunya yang kontras dengan nuansa hangat alam, membuat dia menjadi mudah dilihat, seketika ada rona jingga dengan irama pelan muncul dibalik bukit, anak itu mencoba memperhatikan dari kejauhan cukup lama hingga ia tak sadar kakinya melangkah makin dekat dengan bukit, tanganya menari menyerupai sayap yang melambai lembut penuh harap, matanya terus memandang teduh penuh impian, masih tercermin indah lukisan jingga dikedua bola matanya, hingga akhirnya kedipan terakhir yang ia dapati hanyalah ruang hampa putih tanpa batas  jarak dan waktu, dan langsung berakhir pilu, jingga yang ia harapkan sedari tadi bukanlah surya tapi bencana, semakin dekat dia dengan cahaya itu semakin pedih dan perih yang dirasa, hawa panas yang membara makin menyayat tubuhnya, hingga untuk melihatpun kedua bola mata dibutakan oleh silauan cahaya yang entah apa warnanya. Hanya bisa berlari menjauh yang bisa anak perempuan itu lakukan, walau tertatih samar melihat jalan, teriakan tangis melepas kesakitan, bahkan airmata yang terus  menetes  deras  tanda kekecewaan.


Masihkah ada yang mau bertanya “apakah anak itu masih mau melihat cahaya itu lagi?”
Tidak, tidak akan pernah lagi dan seterusnya, bahkan untuk melihat jingga dari sang surya yang sebenarnyapun anak itu tak akan memilih waktu secepat itu terpana oleh cahaya yang entah asalnya dari mana dan bagaimana.

“Kreeeeeek!”

Suara jendela yang bergerak menutup karena tiupan angin malam yang semakin kencang memecah lamuanku tentang anak perempuan berbaju biru itu. Aku kembali menjelajahi pikiranku sendiri. Tentang rinduku yang semakin sesak jika dirasakan, ada rasa kosong yang bercampur penolakan agar tak tergesa-gesa, karena luka lamaku belum terlalu sembuh, dan entah untuk siapa disana yang akan menjadi berikutnya,

Hanya satu yang terus aku semogakan, akan kudampingi kamu jika kita mau bersama-sama berkeras kepala untuk tetap bersama apapun keadaanya.

“Tidurlah” seru orang di seberang ruang , malam yang semakin malam, pagi semakin pagi, karena tak ada waktu yang mencoba berhenti, jika ada seseorang yang tengah cemas menunggu kepastian juga tak mau berhenti, aku yang mengizinkanmu berhenti, cukup berhenti tapi tolong jangan pergi,berhentilah jika lelah, berhentilah jika kepastian hatiku hanya membuatmu gelisah.  Setidaknya dengan berhenti aku bisa membalas kebaikanmu untuk berani  mengutarakan perasaan hati, terimakasih karena dengan kejujuran hatimu, aku ada alasan untuk segera sembuh dari trauma masa lalu.

You Might Also Like

2 comments

INSTAGRAM