Mencoba menyelesaikan
04.54
Akhirnya
aku menemukan tokoh Dini yang berbisik pelan didalam hati seharian ini, sampai
akhirnya kubiarkan semua terucap nyata apa yang dirasakan Dini terhadap Tegar,
dalam perjalanan yang sudah cukup lama aku abaikan, dan sehingga catatan yang
niatnya diselesaikan ini bukan akhir segalanya, tapi awal semua hati bisa
berjalan lebih luluh dengan apa adanya.
***********
Aku datang untuk menemuimu kembali, dari
waktu yang berjalan makin malaju, cafe kecil di pinggiran jalan yang tak begitu
ramai pengunjung, mungkin selalu menjadi saksi kegundahanku mencari rindu yang
sebenarnya rindu, hingga pada akhirnya setelah ku papahkan jiwa yang masih
samar memar oleh kepedihan menahan rindu pada seseorang yang aku tahan jaraknya
beberapa pekan, akhirnya menaruh harapan, harapan untuk jawaban yang masih
perlu disemogakan, tapi yang pasti getar rindu itu benar-benar kalah syahdu
denganmu.
Jika sering aku titipkan rindu pada senja
yang sementara hadir saat itu saja, sayangnya sudah kesekian kali aku bertatap
dengan alunan senja yang pada akhirnya jatuh pada pelupuk mata tentang rindu
yang seirama pada senja sebelumnya, begitu seterusnya. Rasa yang hampir
memporakpandakan kesadaranku juga sedikit mengganggu hari-hariku bersama mu.
Sampai kapan kau hias hariku dengan sapaan
teduh yang menguras peluhmu sendiri?, Kau beri aku semerbak harum rindu yang
datang tepat waktu, dan sering kupaksa menjemput aroma itu walau kadang getar
hati tak hadir dengan seksama, aku mencoba bercengkerama dengan semesta kita,
tapi mengapa derap tanah yang kita pijak selalu membawa jejak yang berbeda. Aku
masih terus menaruh catatan yang belum aku selesaikan, dan membiarkanmu
tertatih pada keindahan asa.
Bola mataku memutar perlahan mencari
sosokmu yang telah menunggu agak lama, disudut bangku dengan dua kursi, yang
satu telah kau duduki, satunya mungkin telah kau persembahkan untuk orang yang
membuatmu gelisah sampai saat ini.
“hay Gar, sudah dari tadi nih nunggunya,
setia amat” sapaku membuka pertemuan kita kali ini, karena kulihat dia masih
sama, pria yang selalu gerogi dan takut salah tingkah, tapi kerap bertindak
spontan dan romantis.
“Enggak dari tadi sih, tapi dari satu jam
yang lalu, kalau yang terakhir itu sampai kapanpun Din”
Dia mengucap jawaban yang terakhir dangan
spasi yang sedikit lama, sampai aku terpikir, apakah itu jawaban dalam catatan yang akan aku
selesaikan saat ini juga?.
Walaupun sudah sempat termenung lama
sebelum menginjakan kaki dihadapanmu, ingatanku kembali memutar film lama
ketika kita saling mengenal, ketika akulah yang memulai dengan alas an
sederhana sehingga kita bisa saling bercengkerama. Ketika dari rasa kagum
hingga akhirnya aku tak sadar ternyata jarak yang kubuat malah membuat hatimu
merasa terpasung pada asa yang semu, mungkin aku salah langkah, tapi aku percaya
tuhan tak pernah membiarkan jarak dan pertemuan tanpa makna dan siasat. Kau
berlari terlalu cepat hingga akhirnya aku dengar potongan tiga kata yang
membuatku ngilu mendengarnya, ngilu dengan jantung yang berdebar seakan kau
benar-benar berhasil mengucapkan mantra cinta sehingga hatiku juga turut
bergejolak. Tapi sayangnya gejolak itu hanya menjadikan mozaik-mozaik getar
cinta tertata bukan menyatu selamanya, dan setelah detik itu semua kembali
semula, hanya rasa nyaman, selama ini aku berpikir semua itu perlu proses,
merangkai catatan bak pelekat yang saling menguatkan potongan mozaik itu agar
utuh, tapi mau sampai kapan catatan ini aku urai, jika terlalu banyak waktu ku
sejarahkan, sebanyak itu pula catatan ku tulis tanpa tujuan akhir yang jelas,
dan mungkin benang-benang pelekat setiap kisah semakin memupuk asamu.
Tanpa kau tau aku juga bekerja keras terus
mencari mantra yang kuat darimu, berbulan-bulan, tapi yang kutemu hanya
keikhlasan dan seluruh kebaikanmu yang lebur dalam tiap waktu yang kau relakan untukku.
“Gar, aku mau ngomongin soal kita, karena
kau selalu berkirim pesan mengingatkanku agar tak lupa” kutatap matanya tajam
pertanda ini perbincangan serius, karena aku tahu selama ini dia hanya selalu
mengelak jika mata kita saling bertemu, tapi aku juga tau kalau dia tau benar
apa warna bola mataku.
“Tumben Din, kamu mau ngomongin soal itu,
biasanya kamu yang malah mengelak, aku bukan mengingatkanmu hanya memberi tahu,
rasa itu masih sama walau hampir satu tahun aku menunggu kepastian” sahut nya
tegas tanpa berkelit, tapi dengan wajah
yang masih sama teduh berbinar menatapku, mungkin itulah luapan kata yang ia
simpan selama-lama ini, berbulan-bulan, hampir mendekati satu tahun ini.
Entah mengapa dadaku sedikit sesak untuk
membawa seseorang, orang lain, dalam pembicaraan kita (aku dan Tegar) saat ini,
serasa ada jeruji yang menghalangi mulut berbicara bebas, aku takut
kehilanganmu, Tegar, seseorang yang tak henti mengisi warna biru sendu sehingga hari-hariku terasa
lebih sejuk, seseorang yang tak pernah
berhenti berkirim sapa walau tak sempat aku baca, seseorang yang selalu memberi
pujian bak pujangga, bahkan mungkin seseorang yang sudah hiruk-pikuk terjerat
amarahku, dan semoga Tegar tak sampai candu pada ilusi tentangku yang semu. Aku
benar-benar egois, dan mungkin kau akan berpikir aku hanya menjadikanmu tokoh cadangan
semata, tapi jika aku tak berkata yang sebenarnya aku takut menjadi lebih jahat
lagi melukai hatimu, tanpa membalas kebaikanmu.
“Iya Gar, aku tak mau terlalu lama memakan
waktu, dan maaf sebelumnya karena sampai saat ini waktu yang terbuang juga
cukup banyak, jujur sangat sulit aku mencari gambaran yang jelas tentang kepastian rasa yang sama seperti yang
kamu rasakan ke aku, semuanya masih samar saat ini, sampai akhirnya belum lama
ini aku mendapat pengakuan seseorang, memang dia tak selama kamu menanti, kau
masih unggul jika soal itu, tapi…”
“Dini, aku udah siap dari dulu jika
jawabanmu bakal kayak gini kok”
“Maaf Gar, yaa aku juga terima kalau kamu
bakal marah sama aku, aku sejujurnya juga masih bingung, semuanya begitu rumit,
aku sudah mencari berbagai celah untuk memastikan, dan yang aku rasakan ke
seseorang itu lebih jelas, rinduku ke kamu sama ke dia itu beda Gar, maaf sebelumnya”
“aku masih unggul kan katamu?, kau tau kan
seberapa lama aku menunggu, dan jika dia hanya baru memulai, aku akan tetap
terus meneruskan Din, apakah kau keberatan jika aku masih manjadi Tegar yang
selalu sama, aku hanya ingin menjadikan pembicaraan kita kali ini sebagai mimpi
buruk dan lekas bangun nanti”
Ada rasa kosong yang menghantam jiwaku,
ketika Tegar berkata barusan, aku tak pernah keberatan Gar, bahkan sangat
senang jika kamu masih sama, entah aku rasanya tak ingin meneruskan
perbincangan ini, aku tak mungkin memberi tahu yang sebenarnya seseorang itu
sebenarnya lebih lama mengenalku daripada kamu
gar, tapi getar cinta yang aku tunggu juga belum terpecahkan oleh nya
(seseorang itu), asalkan kamu tau gar, yakinku pada logika belum utuh untuknya walau rasa rindu ini sedikit menjelaskan, yang katanya cinta karena terbiasa, membuatku
lebih berpikir sejenak, sepertinya itu sedikit memaksa, sedang rasa yang ada
dalam jiwaku ini bukan karena terbiasa.
Aku bukan seorang pembaca perasaan yang
pintar, tapi mungkin aku tahu sejauh mana rasa sesakmu memuji getar cinta itu, yang kau pupuk terus menerus, yang kau pertahankan sekuat-kuatnya
walau badai sering menerpa dan membiaskannya berlalu ditiup angin. Terlalu
jahat rasanya jika aku disini hanya terus berdoa agar getar itu hilang
diporakpandakan gelombang amarah yang juga akan aku bangun, tapi setelah aku mendengar perkataanmu, aku
urungkan niatku. Aku tak mampu berucap
menyetujuhi ataupun mengelak, hanya ada waktu yang bisa mengantarkan kita pada
jawaban, waktu yang akan membuka hatiku untukmu, atau waktu yang akan
meyakinkanku pada seorang itu.
2 comments
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAhh.. Tegar. Kata2nya bikin le'eh :D
BalasHapusTerAlanKan.Wordpress.com