Dibalik Jendela

02.38

source: tumblr

Masihkah kau meringkuh dalam sudut ruang dibalik jendela itu, meratapi rindumu yang tetap saja terlihat tabu, adakalanya aku mendekati bingkai dan berpura-pura memetik daun-daun kering mawar putih di terasku, membiarkan jari-jemari ku tergores duri kecil, setidaknya mawar itu tetap menjadi indah, kalau-kalau kau lelah bersembunyi dan ingin melihat keluar jendelamu, aku siapkan pemandangan itu tiap kali aku keluar merindukan deru nafasmu, itulah alasan keyakinanku bahwa ada ruang diantara kita, walaupun dengan dimensi yang berbeda, aku selalu tau jiwamu selalu ada.
Beberapa hari yang lalu aku beranikan diri menegur pelan, berbasa-basi memastikan apa kau tetap disana, embun pagi yang masih diluar jendela dan kau tetap diruang dibalik jendelanya, aku merasa hembusan angin basah membiaskan harum anyir yang biasa ku cium dari tirai mu perlahan menjadi semerbak aroma melati, apakah itu pertanda kau tak lagi menepi disudut,  mulai berjalan terarah entah di samping atau ditengah.

Kala rembulan merangkul sukma kuintip sejenak jendelamu, karena aku tahu selalu ada celah kecil yang kau biarkan terbuka, telinga ku seketika tajam menangkap nyanyian sepi, nyanyian kepedihan yang kau alunan sabagai pemberontakanmu kepada Tuhan. Ingin rasanya aku menembus tembok ruangmu, merangkul hangat tubuhmu walau hatimu masih untuk seseorang yang telah pergi. Ingin kuhapus air mata itu dengan tanganku sendiri walau setiap butirnya teramu kisahmu dengan nya yang pelan merobek luka lara.


Aku masih merindukan mu perempuanku dibalik jendela, aku merindukan melihat tingkahmu dengan lincah kau lompati bingkai itu dan mengetuk keras-keras jendela ku, bercerita di balkon rumahku, memainkan permainan konyol yang kau buat sendiri, sehingga kau yang selalu menjadi pemenang, karena aku selalu mau mengalah untukmu, 12 tahun yang lalu. Bayangan kita samar tertera dibalkon rumahku yang sekarang sudah tak terawat lagi semenjak tak ada pertemuan aku dan kamu disana. Tapi hatiku selalu berterus terang bahwa kau tetap perempuanku dibalik jendela.

Aku sadar sudah ada tembok yang lebih kuat memisahkan rinduku, yaitu bayang-bayang sosok lelaki yang masih kau anggap ada, padahal tulang-tulangnya sudah membaur bersama tanah diliang lahat sana, apakah sedalam itu kamu mencintainya, hingga saat tiada kehidupanmu pun sirna, layaknya bunga-bunga diujung balkon yang dulu teman bisu kita saat bersama, tinggalah bangkai bermetamorfosa fosil yang entah bagaimana wujudnya, begitu juga kamu perempuanku dibalik jendela, apa kau tampak kurus, tampak keriput, wajahmu sendu jatuh berpilu karena tak ada sedikit senyum menyungging? Apa rambutmu cepak, pajang, atau gimbal berantaka?. yang pasti kedua bola matamu masih terbayang pasti, hitam legam meneduhkan.

"Yan akhirnya ujian kelar, lu beneran mau lanjut kuliah ke Bandung? ". Seru gita sambil menurunkan petikan gitarnya agar suaranya terdengar oleh ku.

"iyalah Git, udah syukur ada universitas negeri yang nerima gue, masak mau gue tolak".  Jawabku seadanya sambil membalik novel yang kubaca.

"tapi gue gak jadi ke Bandung Yan"

"loh kenapa, itu kan impian lu dari dulu Git, belajar senirupa dibawah naungan Institut yang berlogo gajah itu"

"Tama nembak gue semalem, waktu prom night"


Selalu terniang jelas kata-kata perpisahan kita, sejak saat itu aku memilih mundur, pergi dari kehidupanmu, jiwa ku selalu terbelah dua sisi yang memakimu dengan kebencianku terhadapmu, sedang sisi yang lain tak pernah berhenti mencintaimu tanpa ragu, hingga selalu ada dalam alam bawah sadarku, bahkan aku tetap mencintaimu. Aku selalu ingin meminta pertanggunjawabanmu tentang dua jiwaku yang selalu berkelahi.

Sampai pada suatu pagi, kebencianku mengalah, walau rasa sakit tentang sebuah harapan yang kau janjikan masih tersisa, ada harapan baru yang sedang aku gambar sendiri hingga menutupi kepedihan itu. Kabar tentang seorang yang kau cinta bak dewa kehidupanmu itu telah tiada, membuat jiwa baru ku semakin kuat untuk kembali. Setelah sekian lama aku menguntai jarak diantara kita. Aku mengaku kalah dan menarik kembali uluran jarak itu, pulang kembali di sebuah tempat bernama kita.
Tempat itu berbeda, sepi tanpa penghuni, tapi ada yang tak pernah berpindah yaitu rumah kita, dengan jarak yang tetap sama, dan dua bingkai jendela yang selalu bertatap muka, aku memilih kembali menempati rumah itu. Aku yakin masih ada harapan karena jendelamu masih sama, aku juga selalu berharap perempuan yang ada dibaliknya juga akan tetap sama, entah kapan kau kembali mengetuk jendela ku keras-keras lagi.

source: tumblr

You Might Also Like

0 comments

INSTAGRAM