Pelangi Menculikmu

05.33



Halo hujan yang masih turun di bulan Maret.

Aku merindukan ingatan yang terkubur lama bertahun-tahun yang lalu, saat rintik menjadi saksi antara kamu dan aku, keabadian pertama yang masih bersemayam sendu penuh pilu, sekali-kali ku cari-cari dalam brangkas memori otakku, kadang kutemukan dengan mudah di depan mata kadang hilang ditelan fatamorgana. Saat itu hujan turun selepas terik sang surya bermanja dengan kulit-kulit bocah sawah yang sudah hitam, makin gosong lagi jika terkena panas. Anak-anak berseragam merah putih keluar satu persatu dari bangunan 20 x 200 m ditengah-tengah hamparan padi yang mulai mrekatak . Aku diantara anak-anak yang masih gelisah berteduh di depan ruang kelas, teras yang sempit, beberapa lubang dilangit-langit yang beberapakali meneteskan air, ditambah lagi badan Ibu Guru Sumi, guru bermacam-macam pelajaran yang usai mengajar jam terakhir mengurangi jumlah muatan tempatku berteduh. Satu dua anak laki-laki mulai menghajar tirai-tirai hujan dengan bersemangat, sesekali Ibu Sumi berteriak penuh was-was tapi apalah daya, mereka terlalu bersemangat untuk segera sampai rumah menyantap makan siang, jika hujan tak membawa petir mereka diam-diam pergi ke lapangan bermain bola, karena bermain bola dengan genangan air menambah keasikan serta ajang melatih kelihaian mereka merebut bola. Rupanya hujan berpihak pada gadis-gadis kecil seperti kami yang enggan hujan-hujanan, karena membayar denda merusakan buku perpustakaan terlalu mahal, sayang uangnya bisa ditabung membeli boneka atau baju baru. Ritme hujan yang kasar dan ribut, pelan-pelan semakin hilang bersama angin yang berhempus manja hanya ada beberapa butiran air yang menetes dari dahan yang membuat seragamku basah. Aku dan kedua temanku sudah mampu berjalan santai menjauh dari pagar sekolahan karena hujan sudah benar benar reda, tangan kami masih menenteng segumpalan tas keresek  berisikian sepatu, jalanan masih terlalu banyak  digenangi air, kami memilih menyimpan alas kaki kami yang lebih berharga, biarkan kaki yang terkena lumpur dan kotor toh kalau sudah sampai dirumah bisa lekas dicuci dan kering.

Perjalanan pulangku bersama kedua temanku berakhir di persimpangan tak jauh dari jalanan menuju persahawan, tinggalah aku sendiri yang menyusuri perjalanan pulang tanpa kawan tanpa jas hujan. Menapaki jalan setapak yang membelah beberapa hektar sawah milik para petani-petani makmur yang memuja –muji padinya. Untuk bisa menuju perkampunganku butuh waktu 15 menit, sayangnya langit lekas berubah pikiran, awan  cerah mengalah pergi membiarkan mendung menemani perjalanaku yang sudah mulai kalut oleh lintasan-lintasan petir bergemruh.  Tetes demi tetes air hujan meracik  tirainya ditengah pemandangan hamparan sawah, dan tinggalah aku sendirian diselimuti takut dan bingung keluar dari lebatnya hujan yang seketika datang. Beruntunglah cepat  aku menemukan pohon pisang Ambon yang tumbuh di galengan salah satu kubik sawah yang sepertinya akan  gagal panen, padinya kalah tumbuh subur daripada rumput teki. 

Aku masih berdiri sejenak, berhimpit dengan pohon-pohon pisang, mencari benda tajam di dalam tas yang bisa aku gunakan untuk memotong satu daun atau lebih dari batangnya sehingga bisa menjadi jas hujan dan aku pun bisa melanjutkan perjalanan dengan tenang kembali. Entah mengapa suasana terasa lebih hangat dibandingkan beberapa detik sebelumnya. Aku melihat sosoknya berdiri dibalik pohon yang sama, punggung kita saling berhadapan. Setelah aku menengok kebelakang ia pun balik menengok . Mata kami saling bertemu, aku melihat jelas kedua bola matanya setelah sekian lama aku hanya  bisa menatapnya dari balik punggung. Aku sedikit ragu untuk menyadari bahwa itu benar sosoknya. Aku memilih kembali pada posisi awalku dan terpejam, barangkali yang aku lihat hanya halusinasi.

“Hey, nih cuter, ambil daunya dan segera pulang, nanti keburu sore”

Ada tangan yang menepuk pundaku, aku pun percaya bahwa ini nyata dan berbalik badan masih mendapati sosoknya yang sudah menghadap ke arahku dan mengulurkan cuter kecil berwarna merah hati. Mungkin saat itu hanya pohon pisang dan dia yang tau, wajahku mungkin berubah memerah seperti labu, mataku berbinar layaknya lampu sorot pasar malam, tapi rasa yang bergejolak dihati hanya aku yang tau, tentang keajaiban hujan yang benar-benar mempertemukan kita seperti dimimpiku disuatu malam silam.  Bodohnya aku hanya terpaku diam memandangi sosoknya lama, sedangkan tangan yang mengulurkan cuter terlalu lama menunggu  aku merimanya alhasil dia sendiri merobek batang pisang itu hingga daunya jatuh, diambilnya satu untukku satu lagi untuknya.


Kami masih berhadapan beberapa menit, hingga sorot matanya ragu dan keningnya sedikit ia kerutkan, mungkin ia bingung karena seketika membuatku linglung. Dengan matanya dia mencoba berbicara, melirik beberapakali kearah jalanan, dan aku yang sedari tadi masih terpaku dihadapanya bangun dari lamuan dengan terseyum malu lalu lekas kembali menapaki jalanan. Sepanjang perjalanan aku hanya mampu terus menunduk, tersipu malu. Kupu-kupu diperut sedang menari saman, bunga-bunga diotak yang bermekaran dipetik geli oleh anak-anak nakal. Rasanya aku benar-benar sakit dan melilitnya hati yang barusan dicuri oleh sosoknya. 


Seketika hujan menjadi lebih nyaman daripada tadi, udara menjadi hangat, dan ritmenya pun sama sekali sudah tak bergemuruh bising melainkan menjadi alunan nada indah pengiring perjalanku. Dan sosok itu, ada derap-derap langkah yang aku rasakan, berjalan terpaut jarak di belakang. Genangan air yang mengayun karena tetesan hujan kujadikan cermin gambaran wajahku yang semakin memerah tersipu. Rasanya aku berada pada bagian mimpi putri salju yang tengah sekarat dan dengan penuh pengorbanan pangeranku yang berusaha membangunkan ku kembali, bangun dari kecemasanku pada hujan. Hujanlah yang membawa keajaiban baru. Memanipulasi kisah putri salju menjadi sedemikian sederhana. Sayangnya tak lama setelah itu butiran hujan semakin kecil, tirainya pun mulai renggang terbuka. Rupanya hujan mulai reda. Aku melihat ke arah langit. Memastikan jika hujan sudah benar-benar reda. Bersama suara rintik hujan yang mulai berhenti pelan. Suara langkah kaki dibelakangku semakin samar pula untuk didengar. Pandanganku disodori lukisan langit usai hujan. Pelangi, dengan 7 warna yang terukir dalam bentuk setengah melengkung tapi tak sempurna memotong batas langit dan pepohonan di dirumah-rumah. Dalam kondisi tenang seperti ini seharusnya suara langkah kaki tadi semakin dekat dan jelas terdengar, tapi sayang pelangi menculiknya pergi atau memang hilang ditelan ributnya hujan tadi. Beberapa kali aku memastikan menengok cemas kebelakang mencari sosoknya yang sudah tiada. Apa memang sedari tadi tiada siapapun. Lalu siapa yang menorehkan kisah kecil ditengah hujan lebat tadi. Jika aku semakin berpikir mendalam menelanjangi otak-otaku untuk berpikir lagi, aku tak mampu.

Cukuplah kesimpulan sederhana. Pelangi indah ini membawa pergi sosoknya begitu pula cintaku. Itulah saat aku mulai tau apa itu cinta masa kecilku, untuk pertama kalinya aku merasakan cinta, dan setelah itu semua kembali normal dia tetap kakak kelasku yang dengan gaya selalu berlagak idola  karena memang idola banyak orang, ditambah lagi kepandaian dan kepintaranya. Dan aku tetap aku satu dari puluhan adik kelasnya yang juga kagum denganya, tapi satu hal yang membuatku kadang tersenyum saat melihatnya, karena keajaiban cinta yang pertama kali aku rasakan itu dengannya, cinta yang semu memang, seperti pelangi dan hujan yang hadirnya penuh kejutan, penuh  teka-teki kadang dengan segala alasanya yang rumit kadang dengan sesederhana  mungkin, tapi semuanya bermuara pada satu rasa yaitu cinta dan dengan sosoknya saat itu aku belajar, bagaimana rasanya ijka getar hatiku mulai merasakan kepada siapa ingin berlabuh.

You Might Also Like

6 comments

  1. Ya, begitulah cinta.. Kadang seperti hujan, menciptakan genangan..Dan cinta, menciptakan kenangan.

    BalasHapus
  2. Ya, begitulah cinta.. Kadang seperti hujan, menciptakan genangan..Dan cinta, menciptakan kenangan.

    BalasHapus
  3. manis :)
    ditunggu kunjungan baliknya

    BalasHapus
  4. kata-katanya puitis tapi enak di dengar (seolah-olah) gk lebay ... lanjutkan ... bpi

    BalasHapus
  5. Manis :) And i will Chasing the rainbow

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

INSTAGRAM