Tentang Kamu dan Dua Jiwaku

21.03


Ketidakhadiranmu dalam rinduku kadang menjadi kekuatanku membayangkan hehing yang lebih sempurna, menciptakan tawa yang lebih ikhlas. Ketika merindukanmu juga menjadi bumerang bagi pikiranku sendiri, menyiksaku bertubi-tubi menguak ketakutanku tentang hipotesa semesta pada suatu hari nanti. Aku tidak ingin kita saling pergi tapi aku juga tidak ingin kita saling berjanji yang pada akhirnya kita terpaksa menepati karena tidak enak hati. Aku tahu hidup kadang luput dari pinsip tapi aku manusia, naluri egois seenaknya ada, jangan memukul rata menyalahkan orangnya bahkan tubuhnya, aku tak pernah tau mekanisme hasrat yang dikemas dalam kepingan rasa yang entah dari mana asalnya, manusia hanya bisa berperasangka dalam konsep merasakan dan mati rasa, menginginkan dan tidak menginginkan seperti menjalankan praduga pada jiwa.

source : tumblr


Kadang ada sepersekian waktu rindu yang menjadikan kita alasan untuk saling memikul peran, mungkin bukan kamu tapi aku yang telah jatuh terlebih dahulu memandang kompleksitas semesta beserta duniamu itu serdadu. Aku kadang ingin menjadi sosok lain seperti metamorfosisnya larva menjadi kecoa atau dengan diksi yang lebih indah layaknya kepompong menjadi kupu-kupu. Pergi dari segala kebebasan menutup hingar-bingar lalu pelan merangkai selimut, membungkus diri, terluka sendiri, senang sendiri bahkan sampai mati sendiri. Sayangnya tuhan menegurnya menyuruhku bangun dan kembali hidup dalam panggung sandiwara, dalam dunia yang sementara seperti pedoman pada filsafat kehidupan yang diartikan sekadar beristirahat sejenak lalu akan hidup abadi setelah mati. Bolehkah jika perasaan ini ditunda, bolehkan sakit hati ini lenyap, jika boleh biarkan semua rasa dalam jiwa ini pergi dan kupersilahkan kembali setelah aku abadi.

Masihkah aku harus berperang pada dua jiwa. Tapi bukankah jiwa itu lahir karena kehadiranmu sebagai rahim yang satu, yang memulai debut asa untuk pertamakalinya, hidup dalam tubuh yang sama dalam resah dan resah berikutnya. Jiwa yang satu memintaku pergi mengikhlaskan segala yang pernah aku dambakan, yang telah merusak pikiranku hingga saat ini. Itu berarti kamu dan duniamu tidak akan kubiarkan sedikitpun menjamahku. Mungkin bagimu hal ini hanya alasan renyah kepergianku nanti, tapi bagi hidupku ini kali pertama jatuh sejatuh-jatuhnya ketika angan sudah diambang langit dan jatuh tanpa ada satupun bintang menopang sampai pada pilihan meyembuhkan segalanya dengan hilang, lenyap ditelan jurang. Mungkin ada saatnya hidupku menemui jurang terdalam tepat pada kehilangan segala yang aku mau, memulai semua dengan hal yang baru dan membuang semua mimpi dan kesakitan pada ujung tebing dan aku jatuh bebas menjadi partikel-partikel yang siap merangkai hasrat baru. Aku bisa saja memutuskan pilihan itu pergi sejauh-jauhnya darimu, dari kehangatan lingkungan ini, mengikhlaskan mimpi dan segala serba-serbinya yang bisa sesekali membuatku merasakan nyeri. Sayangnya ada separuh jiwaku yang lebih takut kehilanganmu serta kehilangan dunia lama yang pernah terasa sangat sempurna ini.

Separuh jiwa itu aku sematkan dengan nama jiwa kedua yang berbalik memintaku hidup dalam drama lama yang tak henti-hentinya.  Jiwa itu membawaku pada ruang pengajaran, belajar menari dari hiruk-pikuk badai kesakitan. Jiwa itu pun menuntunku memaki pesakitan,  menumpuk semua hal yang membuatku lemas menghakimi diri, menyalahkan waktu, memenjarakan tubuhku untuk terus diam meratapi kebodohanku sendiri. Dalam segala hal yang berhubungan denganmu pun aku kadang merasa asing, aku bukan siapa-siapa yang ingin menganbil peran aku hanya ingin lupa bahwa aku pernah dibuatnya terluka, tapi sampai saat ini luka itu masih hadir layaknya serambi yang malas untuk kuketahui jika pada akhirnya merobek semua luka-luka. Asalkan kamu tahu memulai kisah ini aku harus rela membiarkan luka yang menganga dikoyak-koyak sehabis-habisnya darah mengalir. Entah mengapa sayangnya aku tak pernah kehabisan darah walau perih tak tertahan ada sistem simbiosis yang meramu kepaduan jiwa kita. Kamu sebagai pendonor utama semua sesak kehabisan darahku sedangkan aku sebagai obyek tersakiti tapi tetap bertahan hidup dari senyum dan kebahagianmu. Kadang aku juga mencoba menebak pikiran dan bahasa nuranimu, ingin rasanya memahami agar lebih mengerti pibadimu tapi keterbatasanku semakin kuat dengan tembok tebal yang menghalanginya bahkan rasa sakitku pada duniamu yang membuatnya lebih acuh untuk mengenalmu.

source : weheartit

Sekarang, inilah aku, dengan campur tangan Tuhan menanam takdir; bukan takdir seutuhnya ada unsur jiwaku untuk dapat memilih didalamnya. Jika memang masih ada terus luka itu mau tidak mau kamu ada didalamnya mempengaruhi paradigma tentang jalanku belajar mencari sebuah pemahaman dan keikhlasan.

Jika boleh bertanya, "Relakah kamu menerima keegoisanku untuk pergi jika suatu saat aku lelah bertahan diantara sakit yang membayangi?"

Ada saatnya aku memilih menyerah mungkin itu bukan karenamu, tapi kelelahanku menyimpan rahasia tentang kebencianku dan keenggananku disudutkan pada luka lama. Dan untuk dirimu mungkin hatiku akan meronta tak akan membiarkanmu menghilang seutuhnya bahkan tak akan dibiarkan siapapun itu menyentuh hatimu nanti.

Pada saat ini juga aku hanya bisa menjalani pilihan jiwa dan segala tuntutanya, kadang bisa aku melafal terimakasih atau kadang bersungut menyesal tapi bagaimana pun aku hidup bersanding pada semesta dengan banyak ketidaktahuan dan angan-angan yang akan terjadi bisa saja tidak sesuai dangan yang diekspetasikan.  Disisi lali mari berperasangka baik terhadap jarak yang diskenariokan penuh unsur mengira serta menduga rahasia semesta.

You Might Also Like

2 comments

INSTAGRAM