Who Am I?
06.28
KNOWING
YOURSELF, KNOWING YOUR HAPPYNESS
( Charlie. L
)
Man arrafa Nafsahu
faqad arrafa Rabbahu
“the one who know their “true
self”, they whom will know their God”
Who Am I?
Kita seumur hidup mengejar titel, mengejar sertifikat, mengejar nama, mengejar status, mengejar cinta, mengejar benda materi, mengejar pujian – semuanya untuk apa?
Kita
selalu mengejar apa yang diinginkannya, karena hal itu dianggapnya sebagai
’cara’ untuk menemukan kebahagiaan. Padahal dengan kejar mengejar itu apakah
semua itu membahagiakan dirimu? Senang sesaat mungkin. Tapi bahagia? Belum tentu.
Lantas
kita mencari pembenaran dengan : “ah ini hal alami bagi manusia, lihat aja tuh
orang-orang, aku ini kan
sedang mengejar dan mencari identitas diriku”. Tapi ternyata…. at the end… kejar mengejar tersebut tidak
pula menemukan jati dirimu.
Rasa
resah, gelisah, cemas, tidak pede, tidak bahagia, gampang tergoyangkan tetap
datang silih berganti, padahal sepertinya apapun yang kita inginkan selalu
terpenuhi. Kebutuhan kita pun sudah tercukupi.
Penderitaan itu selalu ada karena
keinginan yang tak pernah tercukupi. Keinginan berbeda dengan kebutuhan.
“Duh,
apa sih mauku? Kenapa dengan aku? Apa yang kucari? Apa sebenarnya tujuan
keberadaan aku di dunia ini? Dan….. eh.. sebenarnya ‘aku’ ini siapa ya? ….Ah
gak tau lah…bodo amat..”.
“Who am I?”
Ada yang dengan gampangnya bilang “Be ur
self” ........ tapi ”ur self” yang mana?? Diri kita yang mana??
Wong identitas kita pun cuma berdasarkan asumsi kita terhadap diri ini sendiri.
Manusia dapat
mengenali segala fenomena jagad raya, isi bumi di eksplorasi dan di pelajari,
bulan pun di jajaki, planet-planet tata surya mulai di jelajahi juga, bahkan
Galaksi yang jaraknya jutaan tahun cahaya pun manusia ketahui. Namun manusia tidak pernah mengeksplorasi
bahkan tidak mengetahui “Siapa dirinya sendiri”. “Who am I?”
Setiap
orang pasti pernah atau suatu saat akan menanyakan hal seperti itu pada
dirinya, ”siapakah aku?” pertanyaan itu kadang terkembang dari ”apa sih mauku
sebetulnya?”, ”apa sebenarnya yang aku cari?”, ”kenapa aku melakukan hal ini?” ”apa
sebenarnya mauku?”, ”kenapa aku gelisah?”, ”bagaimana kepastian hidupku?” dsb2,
dan lantas kembali lagi pada “siapakah ‘aku’?”.
Ada yang mengasumsikan dirinya dengan
kepribadian/karakter, ”aku adalah seorang pemarah, aku adalah seorang pendiam,
aku adalah seorang manja, aku adalah pemalas, dsb”.
Ada yang dengan profesi atau background
akademis, ”aku adalah seorang dokter, aku adalah seorang engineer, aku adalah
seorang successfull business man, aku adalah seorang ulama, aku kyai sepuh, im
a DJ, dsb”.
Ada lagi yang dengan kondisi fisikal/materialnya,
”im a pretty girl, im a good looking guy, aku adalah binaragawan berbadan bagus,
aku orang kaya! Aku orang miskin, dsb”.
Bahkan
yang lebih kacau lagi ialah bagi para penikmat ”Horoscope” atau ramalan tangan. Mereka men’conditioning’ karakter dirinya sendiri dari hasil analisa
horoscope, padahal penulis artikel horoscope tersebut menulisnya sambil
tidur-tiduran ngantuk mengejar deadline majalah remaja.
Lantas seorang yang kebetulan lahir pada
pertengahan maret membaca artikel bahwa Pisces adalah orang yang ”sensi”. Dan
dia mencocok-cocokan dengan salah satu karakter ’sensi’ tersebut yang emang ada
pada diri setiap manusia : ”Wah bener, ternyata aku orangnya sensitif..!”. Ia
meyakininya.
Alhasil seumur hidup ia menjadi orang
yang gampang tersinggung.
Kombinasi dari atribut-atribut tersebut
mereka anggap sebagai ’eksistensi’ identitas mereka. Sehingga pada saat
eksistensi artifisial yang mereka anggap sebagai cerminan dirinya (aku) itu
terganggu, maka mereka marah, gelisah dan tersinggung. Mereka tidak tenang bila
’aku’nya terganggu. Kasihan manusia.
2 comments
Takjub sama tulisanmu :)
BalasHapusitu punya mr Charlie. L :) yey
BalasHapus